Sabtu, 10 Mei 2008

Indigo

Indigo ...........

Berbeda, tetapi Bukan Anak "Aneh"

Jakarta, Kompas




SEPANJANG perjalanan menuju rumah nenek, Ardi, sebut saja begitu,
seperti tidak bergerak. Wajahnya pucat pasi. Ia terus menutupi
telinganya. Sang ibu tak berani mengusik anak sulungnya.
"Saya sebenarnya heran, kok Ardi nangisnya sampai begitu waktu
mendengar kabar ibu saya meninggal. Enggak seperti anak kecil lain
yang kehilangan neneknya. Sedih ya sedih, tapi enggak gitu-gitu
amat," ujar Dewi.
BEGITU turun dari mobil, Ardi seperti terkesima melihat sesuatu di
pintu masuk. Ketika mencium jenazah neneknya, tiba-tiba ia kembali
menutupi telinganya dan tampak ketakutan. Pandangannya terus menuju
ke luar pintu. Setelah itu Ardi mengatakan kepalanya sakit, dan
tidak ikut ke makam.
Menjelang tengah malam, Ardi menanyakan apakah ibunya mendengar
suara petir siang tadi. Sang ibu menjawab, "Tidak." "Masak Mama
enggak dengar, kan keras sekali dan terus- terusan, Ma," kata Dewi
menirukan ucapan Ardi saat itu. "Sehabis itu Ardi menceritakan
semuanya," lanjut Dewi. Selain petir, Ardi melihat burung besar di
pintu rumah sang nenek. "Burung itu enggak pergi-pergi," ujar Ardi
seperti ditirukan Dewi.
Saat mencium neneknya, Ardi melihat sang nenek berjalan menuju
sebuah gerbang. Saat itu Ardi mendengar suara petir lagi, yang lebih
keras dari sebelumnya, dan ia menyaksikan neneknya melangkah
melewati gerbang, terus berjalan menuju tempat yang ia katakan
"indah sekali".
Peristiwa itu bukan yang pertama, sehingga Dewi dan suaminya tidak
lagi terkejut mendengar penuturan anak mereka. "Dia sering melihat
macam- macam, tetapi biasanya diam. Ia hanya mau berbicara
sesudahnya, pelan-pelan dan hanya kepada orang tertentu," sambung
Dewi.
Usia Ardi kini menjelang 10 tahun. Di sekolah ia termasuk cerdas.
IQ-nya antara 125-130. "Tapi gurunya bilang ia suka bengong di
kelas," sambung Dewi. Kepada ibunya, ia bercerita melihat
macam-macam di sekolah, yang tidak bisa dilihat orang lain, di
antaranya anak tanpa anggota badan, dan ia merasa sangat kasihan.
Suatu hari saat belajar di rumah ia tersenyum. Ketika ditanya oleh
sang ibu, ia mengatakan ada anak persis sekali dengan dirinya. Hari
berikutnya ia bercerita, anak itu datang di sekolahnya. Ketika
ditanya di mana ia tinggal, anak itu menjawab, "Di sana," sambil
telunjuknya menunjuk ke arah atas. "Ada apa di sana?" tanya Ardi.
Anak itu menjawab, "Ada orang gede- gede buanget. Anak itu omongnya
juga medhok lho Ma, kayak aku, persis," tutur Ardi seperti
diceritakan kembali oleh Dewi. Tentu tak ada orang lain melihat
"anak itu" kecuali Ardi.
Dewi dan suaminya memahami apa yang terjadi pada Ardi dan juga
adiknya. Beberapa anggota keluarganya juga memiliki kepekaan lebih
dibandingkan dengan orang kebanyakan. Pada Ardi hal itu sudah
terdeteksi saat masih bayi. "Kalau dengar suara azan, Ardi tampak
mendengarkan dengan penuh konsentrasi," kenang Dewi. Menjelang usia
1,5 tahun, Ardi membaca kalimat syahadat secara sambung-menyambung
seperti wirid. Sesudah bisa jalan, sebelum usia dua tahun, ia mulai
mengambil sajadah sendiri, memakai sarung sendiri dan membuat
gerakan seperti orang shalat, meskipun bukan waktu shalat.
Toh tingkah laku Ardi membuat Dewi merasa agak risau. "Ia melihat
dan mendengar apa saja yang orang lain enggak bisa lihat dan enggak
bisa dengar," katanya. Ia tidak menceritakan situasi anaknya itu
pada setiap orang di luar keluarga. "Kalau enggak percaya bisa-bisa
anak itu dianggap berkhayal," lanjutnya.
Dewi tidak mengecap anaknya berkhayal, karena dalam beberapa hal ia
juga memiliki kepekaan itu, meski hanya sampai tingkat tertentu.
"Suatu sore, sehabis shalat, saya merasa ada bayangan putih. Ardi
rupanya juga melihat karena ia tersenyum. Dia bilang, ’Ma, ada yang
ngikutin, perempuan. Tapi orangnya baik sekali.’ Ketika saya tanya
siapa, Ardi tidak menjawab."
Suatu hari, Dewi membaca majalah yang menulis tentang tanda-tanda
anak indigo. "Lha saya pikir kok persis sekali sama anak saya. Lalu
saya berusaha menemui dr Erwin di Klinik Prorevital."
ANAK-ANAK dengan kemampuan seperti Ardi bukan hal yang baru di
dunia, tetapi fenomenanya semakin jelas 20 tahun terakhir ini.
Beberapa film mengisahkan kemampuan anak dan manusia dewasa dengan
kemampuan semacam itu, di antaranya The Sixth Sense, dan film-film
seri seperti The X Files.
Menurut dr Tubagus Erwin Kusuma SpKj, psikiater yang menaruh
perhatian pada masalah spiritualitas, anak-anak seperti itu semakin
muncul di mana-mana di dunia, melewati batas budaya, agama, suku,
etnis, kelompok, dan batas apa pun yang dibuat manusia untuk
alasan-alasan tertentu.
Fenomena itu menarik perhatian banyak pihak, karena dalam paradigma
psikologi manusia, anak-anak itu dianggap "aneh". Pandangan ini
muncul karena selama ini kemanusiaan telanjur dianggap sebagai hal
yang statis, tak pernah berubah. "Padahal, semua ciptaan Tuhan
selalu berubah," ujar dr Erwin.
Sebagai hukum, masyarakat cenderung memahami evolusi tapi hanya
untuk yang berkaitan dengan masa lalu. "Fenomena munculnya anak-anak
dengan kemampuan seperti itu merupakan bagian dari evolusi kesadaran
baru manusia, yang secara perlahan muncul di bumi, terutama sejak
awal milenium spiritual sekitar tahun 2000 yang disebut Masa Baru,
The New Age, atau The Aquarian Age. Semua ini merupakan wujud
kebesaran Allah," tegas Erwin.
Fisik anak-anak indigo sama dengan anak-anak lainnya, tetapi
batinnya tua (old soul) sehingga tak jarang memperlihatkan sifat
orang yang sudah dewasa atau tua. Sering kali ia tak mau
diperlakukan seperti anak kecil dan tak mau mengikuti tata cara
maupun prosedur yang ada. Kebanyakan anak indigo juga memiliki indra
keenam yang lebih kuat dibanding orang biasa. Kecerdasannya di atas
rata-rata.
Istilah "indigo" berasal dari bahasa Spanyol yang berarti nila.
Warna ini merupakan kombinasi biru dan ungu, diidentifikasi melalui
cakra tubuh yang memiliki spektrum warna pelangi, dari merah sampai
ungu. Istilah "anak indigo" atau indigo children juga merupakan
istilah baru yang ditemukan konselor terkemuka di AS, Nancy Ann
Tappe.
Pada pertengahan tahun 1970-an Nancy meneliti warna aura manusia dan
memetakan artinya untuk menandai kepribadiannya. Tahun 1982 ia
menulis buku Understanding Your Life Through Color. Penelitian
lanjutan untuk mengelompokkan pola dasar perangai manusia melalui
warna aura mendapat dukungan psikiater Dr McGreggor di San Diego
University.
Dalam klasifikasi yang baru itu Nancy membahas warna nila yang
muncul kuat pada hampir 80 persen aura anak-anak yang lahir setelah
tahun 1980. Warna itu menempati urutan keenam pada spektrum warna
pelangi maupun pada deretan vertikal cakra, dalam bahasa Sansekerta
disebut cakra ajna, yang terletak di dahi, di antara dua alis mata.
"Itulah mata ketiga," ujar dr Erwin. The third eye itu, menurut dia,
berkaitan dengan hormon hipofisis (pituary body) dan hormon epificis
(pineal body) di otak. Dalam peta klasifikasi yang dibuat Nancy,
manusia dengan aura dominan nila dikategorikan sebagai manusia
dengan intuisi dan imajinasi sangat kuat.
"Letak indigo ada di sini," jelas Tommy Suhalim sambil menjalankan
perangkat teknologi pembaca aura, aura video station (AVS). Alat
yang protipenya dibuat oleh Johannes R Fisslinger dari Jerman tahun
1997 ini lebih canggih dibandingkan perangkat teknologi serupa yang
ditemukan Seymon Kirlian tahun 1939, dan Aura Camera 6000 yang
dibuat Guy Coggins tahun 1992 berdasarkan Kirlian Photography.
Tom menunjukkan titik berkedip berwarna nila tua, sangat jelas di
antara kedua mata Vincent Liong (19). Murid kelas dua tingkat SLTA
di Gandhi International School itu sudah menulis buku pada usia 14
tahun dan bukunya diterbitkan oleh penerbit terkemuka di Indonesia.
Buku Berlindung di Bawah Payung itu merupakan refleksi, berdasarkan
kejadian sehari- hari yang sangat sederhana.
Pergulatan pemikiran yang muncul dalam tulisan-tulisannya kemudian
seperti datang dari pemikiran orang bijak, dan menjadi bahan
pembicaraan. Pemilihan angle-nya tidak biasa, dan hampir tidak
terpikir bahkan oleh orang dewasa yang menekuni bidang itu.
Belakangan ia banyak menulis soal spiritual, namun tetap dilihat
dalam konteks ilmiah dan rasional.
Mungkin karena minatnya yang sangat besar pada dunia tulis-menulis,
Vincent tidak terlalu berminat dengan beberapa mata pelajaran di
sekolahnya. Orangtuanya yang tergolong demokratis pun sering tidak
mengerti apa yang diingini anaknya yang ber-IQ antara 125-130 ini.
"Dia keras kepala. Kemarin ia tidak mau ikut ujian matematika,"
sambung Liong, ayahnya.
Vincent mengaku "takut" pada matematika sejak kecil, tapi mengaku
disiplin pada aturan mainnya sendiri. "Sejak kecil aku bingung pada
dogma satu tambah satu sama dengan dua. Aku juga bingung dengan ilmu
ekonomi karena dalam realitas sosial berbeda," tegas Vincent.
Toh sang ibu sudah menengarai keistimewaan anaknya sejak bayi. Waktu
SD, Vincent biasa bergaul dengan gurunya, dan orang-orang setua
gurunya. Pertanyaannya banyak dan sangat kritis. "Saya langganan
dipanggil guru bukan hanya karena anak itu sulit. tetapi juga karena
karangan-karangannya membuat guru-gurunya kagum," ujar Ny Ina.
Vincent sudah menulis tentang teleskop berdasarkan pengamatan dan
referensi pada usia SD. "Di rumah ia membawa ensiklopedi yang besar-
besar itu ke kamarnya," ujar Ny Ina. "Kamarnya kayak kapal pecah.
Tidurnya dini hari karena menulis," sambung Liong. "Saya sering
meminta agar ia menyelesaikan pendidikan formalnya dulu, karena
bagaimanapun itu sangat penting," lanjut Liong.
"PENDIDIKAN formal sangat penting karena anak-anak indigo harus
membumikan ’ilmu langitnya’ untuk kebaikan manusia. Bukan
sebaliknya," ujar Rosini (40). Ia menganjurkan, agar anak-anak yang
memiliki kemampuan berbeda itu tidak dieksploitasi oleh orangtua dan
lingkungannya untuk mencari nomor togel atau menjadi dukun atau
klenik. "Bukan itu misi anak-anak indigo," tegas Rosi.
Anak-anak itu sebenarnya punya mekanisme pertahanannya sendiri.
Annisa, misalnya. Gadis kecil berusia 4,5 tahun ini tiba-tiba
berbicara dalam bahasa Inggris beraksen Amerika begitu ia bisa
bicara pada usia 2,5 tahun. Padahal orangtuanya tidak berbahasa
Inggris dengan baik. Meski tampak menggemaskan, dalam banyak hal ia
berbicara dan bersikap seperti orang dewasa, bahkan menyebut dirinya
"orang Amerika" karena "datang dari Amerika". Nisa menyebut ibunya,
Yenny bukan dengan panggilan mama.
Kemampuan melihat dan mendengar Nisa sangat tajam pada pukul 23.00
sampai dini hari. Tetapi kalau secara sengaja diminta memperlihatkan
kemampuannya, ia akan menolak dengan tidak memperlihatkan kemampuan
itu sehingga ia tampak seperti anak-anak lainnya," ujar Yenny. Kata
sang ibu, Nisa tidak mudah bersalaman dengan orang. Ia seperti tahu
orang yang suka pergi ke dukun atau memakai jimat. Namun sebagai
anak-anak Nisa juga suka menyanyi dan bermain.
Jenis dan kemampuan anak indigo bermacam-macam. Meski memiliki
kepekaan yang kuat, kepekaan mendengar dan melihat sesuatu yang
tidak didengar dan dilihat orang kebanyakan, berbeda-beda
gradasinya.
Menurut Lanny Kuswandi, fasilitator program relaksasi di Klinik
Prorevital, mengutip dr Erwin, "Ada tipe humanis, tipe konseptual,
tipe artis, dan tipe interdimensional. Pendekatan terhadap mereka
juga berbeda-beda," sambungnya.
Namun karena dianggap "aneh", tak jarang diagnosisnya keliru dan
penanganannya lebih bersandar pada obat-obatan. "Ada anak indigo
yang dianggap autis, ADHD (Attention-Deficit Hyperatictve Disorder)
maupun ADD (Attention Deficit Disorder). Padahal tanda-tandanya
berbeda," sambung Erwin. Kekeliruan semacam ini juga terjadi di AS,
karena banyak ahli menganggap anak-anak itu menderita "gangguan"
yang harus dihilangkan.
"Saya beberapa kali pergi ke psikolog dan psikiater," ujar Rosini.
Profesional di suatu perusahaan swasta terkemuka itu suatu saat
dalam hidupnya merasa sangat terganggu oleh suara-suara itu.
Orangtuanya juga merasa anaknya "aneh" karena kerap memberi tahu
peristiwa yang akan terjadi, tetapi menolak mengakui kemampuan anak
itu.
"Dalam tes yang dibuat oleh mereka, saya dinyatakan sehat. Tidak ada
gangguan apa pun," sambung Rosini. Sebaliknya, ia melihat psikolog
dan psikiater yang melakukan tes terhadap dirinyalah yang
bermasalah. Ia juga pernah mencoba mencari paranormal untuk membuang
kemampuannya itu, meski suara-suara itu mengatakan "jangan".
Akhirnya Rosi berdamai dengan dirinya dan mengembalikan kemampuannya
sebagai wujud kebesaran Allah SWT, dengan berusaha untuk terus
mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Karena itu ia ingin membantu
orangtua dengan anak-anak indigo agar anak- anak itu tidak melewati
masa pencarian yang rumit seperti dirinya.
Indigo children, menurut Erwin, bukan fenomena terakhir, karena akan
lahir anak-anak yang disebut sebagai crystal children. "Anak-anak
dengan warna dasar aura, bening dan lengkap. Mereka lahir dari
orangtua yang spiritual."
Mungkin Cita (9) termasuk anak itu. Keluarganya, sampai
nenek-neneknya, spiritualis. Ia bisa melihat sinar dan malaikat di
rumah ibadah, khususnya ketika orang-orang sedang berdoa. Ini hanya
salah satu kemampuan "melihat" milik anak yang selalu mendapat
rangking di sekolah itu. Cita tahu kapan hujan akan turun hari itu
dan sebaliknya, meskipun mendung sudah menggantung.
"Ia menjadi teman dan penasihat kami, bapak-ibunya. Di sekolah, di
keluarga besar kami, terasa ia menebarkan aura kedamaian dan
kebahagiaan. Anak itu sangat tenang dan pemaaf," ujar ibunya, Ny
Dita. (MH)

Tidak ada komentar: